Saturday, August 16, 2008

Ujian Demi Ujian Sampai Bertemu Allah

Ayah dan Ibu kami kerapkali menuturkan kepada kami bahwa mereka tidak pernah lupa mendoakan kami. Ibu juga sering bercerita bahwa jika bangun pada malam hari ia tidak lupa mendoakan putra-putrinya yang berjumlah 12 orang itu satu per satu (tidak lupa menyebut nama-namanya) agar selalu mendapat hidayah Allah dan diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Namun tampaknya Allah menjawab doa itu dengan cara yang Ia kehendaki. Saat itu Allah memberikan cobaan demi cobaan di keluarga kami. Saudara kami yang paling tua, bang Haji Ali (begitu kami memanggilnya), mendapatkan cobaan harta benda.

Sebelumnya, bang Haji Ali dikenal sebagai pengusaha yang terbilang sukses di Pulau Kijang. Namun, seketika bang Haji mengalami kebangkrutan.

Abang kami yang kedua, bang Haris, sudah sejak lama membandel dan membebani orang tua dengan berbagai permasalahan yang membuat orang tua kami “murka”. Bahkan abang kami ini pernah menjadi tidak waras. Sejauh ini sudah dicarikan berbagai cara untuk “mengobati” Abang kami yang kami cintai ini. Namun hasilnya nihil. Akan tetapi dengan kegagalan ini, kami menjadi sadar bahwa hidayah bukanlah tugas kami. Abang kami yang ketiga, bang Kasim, juga mengalami depresi karena masalah ekonomi dan keluarganya.
Bang Udin, abang kami yang keempat, sempat terjebak dengan obat-obatan dan berada dalam ujung tanduk perceraian. Bahkan, abang kami ini sempat cuek dengan orang tua, bahkan tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah orang tua kami. Namun, ada hal yang lebih memprihatinkan lagi yang terjadi pada saat itu. Adik kami, Ani, ditalaq oleh suaminya, ketika ia sedang hamil besar.

Januari 2006. Yang paling memprihatinkan adalah kondisi ayah kami. Pada masa-masa kritis ini, beliau sedang sakit keras karena sakit jantung dan sesak nafas. Sedangkan saat itu aku sedang siap-siap berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi. Sejak saat itu, ayah sering “ngelantur”. Beliau sering mengingatkanku kalau aku pergi jauh beliau takut tak bisa lagi menjumpaiku dan aku tak akan bisa lagi melihatnya tatkala ia akan menghebuskan nafas terakhirnya. Bahkan, ayahku sering menanyakan ke ibuku tentang dimana ia akan dikuburkan.

Saat itu kami menganggap ayah kami hanya bercanda, karena memang ia hobi guyon. Setibanya di Melbourne, aku menelpon ayahku sekadar menanyakan kabar beliau dan mengatakan bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Akupun kemudian dapat kabar bahwa ada kemajuan dalam kesehatan beliau. Bahkan, walaupun dalam keadaannya yang lemah itu, ketika adik kami akan melahirkan di sebuah rumah bersalin, ayah kami yang lemah itu sanggup menemani dan menunggu proses kelahiran Ani (yang tidak ditemani suaminya) dari awal hingga akhir. Aku pun lega mendengarnya.

April 2006. Akupun bisa dengan tenang memulai kuliahku. Namun itu tidak berlangsung lama. Baru saja selesasi aku menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan mengucapkan Salam pada saat duduk tasyahuud akhir shalat subuh, HP ku berdering. Ternyata bang Kasim yang nelpon dari Jakarta. Pikirku tumben nih bang Kasim nelpon, soalnya pasti mahal pulsanya. Perasaanku jadi tidak enak, jangan-jangan ada berita penting. Dan dugaanku tidak meleset. Dengan suara berat bang Kasim mengatakan: “Sabar ya Gus, Fuang (panggilan untuk ayah kami) sudah tidak ada lagi!” Aku tersungkur seketika. Tidak disangka, ternyata percakapanku dengan ayahku via telepon tadi merupakan percakapan terakhirku dengan beliau.

Aku baru sadar, bahwa sehari sebelum ayahku meninggal, perasaanku tidak menentu. Aku tidak bisa belajar, tidak nafsu makan, dan rasanya ingin di rumah saja. Ternyata kata-kata ayahku (bahwa ia takut tak dapat lagi menjumpaiku kalau aku pergi kuliah ke Australia) bukanlah “ tong kosong yang nyaring bunyinya”.

Dari seluruh saudaraku, hanya aku yang tidak sempat melihat ayahku untuk terakhir kalinya. Seluruh saudaraku dengan berbagai kesibukannya dan di tempat yang terpisah-pisah (sebagian ada yang di Jakarta), pada hari ayah kami meninggal diberikan Allah kemudahan untuk berkumpul di Pulau Kijang, sebuah kampung di Riau tempat kami lahir dan Ayah kami meninggal. Namun empat hari setelah ayahku meninggal, aku akhirnya dapat tiket pesawat untuk pulang. Alhamdulillah selama perjalanan, Allah mempermudahkan perjalanan ku.

Sesampainya aku di Pulau Kijang, aku berbincang-bincang dengan abang-abangku dan ibuku yang masih dilanda kesedihan. Ibuku menuturkan bahwa seminggu sebelum kepergiannya, ayahku sempat bercerita kepadanya bahwa ia bertemu seorang yang sangat baik yang tidak pernah ia ketemui sebelumnya mengajak dan mentraktirnya untuk minum kopi di warung dekat pelabuhan.

Sambil minum kopi, orang itu menasihati ayahku: “Pak, berpalinglah dari dunia dan hadapilah Tuhanmu…” Ibuku sambil terisak bercerita bahwa sejak peristiwa itu ayahku banyak diam dan menyendiri. Bahkan ia tak pernah lagi pusing dengan toko yang selama ini ia kelola. Biasanya setiap penghasilan yang didapat dari toko akan ia simpan untuk menjadi modal dagang berikutnya. Namun saat itu, ketika ibuku menyerahkan penghasilan dari toko, hanya ia pegang sebentar lalu ia serahkan lagi ke ibuku. Beberapa hari kemudian, Ia dipanggil Allah dalam keadaan tertidur pulas, begitu penuturan dari abang sulungku bang H. Ali.

Setelah melalui berbagai peristiwa ini, abang-abangku bercerita tentang perubahan yang besar pada diri mereka. Aku tidak tahu apa itu. Yang jelas, abang-abang ku merasa lebih sensitif secara spiritual. Semacam ada panggilan kerinduan yang sudah lama terpendam. Kami sering mengundang para ustadz untuk melakukan pengajian di rumah. Setelah beberapa kali pengajian, akhirnya suatu saat kami mengundang salah seorang ustadz dari sebuah thariqat.

Ia memperkenalkan beberapa konsep dasar dalam tasawuf terutama mengenai hakikat “Nur Muhammad” dan hakikat penciptaan. Saat itu abang-abangku spontan mengatakan “inilah yang selama ini kami rindukan.” Ketika itu Abangku (H. Ali) langsung teringat betapa ia dulu sangat anti-tasawuf dan mengatakan bahwa hal tersebut bid’ah.
Resistensi ini berlangsung cukup lama. Maklum, Abang kami yang tertua ini semakin syari’a-oriented pasca kepulangannya dari ibadah Haji. Dia membawa buku-buku yang berisi fatwa-fatwa yang diberikan secara gratis oleh Kerajaan Saudi di Mekkah. Setelah menjalani beberapa peristiwa di atas, abangku ini akhirnya sadar, bahwa selama ini ia terlalu bersandar pada syari’a dan lupa pada hakikatnya.

Semenjak itu kami sekeluarga sering berdebat mengenai “hakikat.” Kami begitu bersemangat sampai-sampai kami terkadang lupa waktu. Pernah dalam satu hari kami bergadang hingga subuh hanya untuk mengkaji hakikat hidup ini. Kami membaca berbagai buku dan mengutip dari sana sini untuk sekedar menggali beberapa ajaran tawasuf. Aku sering dijadikan rujukan ketika terjadi perdebatan, hanya karena aku pernah di pesantren dan lulus dari IAIN.

Tetapi, itu aku jalankan sebatas pengetahuanku yang sempit tentang tasawuf dan belum pernah aku amalkan. Selama pendidikan ku di Pesantren aku tidak pernah diperkenalkan tentang tasawuf. Tasawuf masih dianggap sangat “sakral” dan belum tepat untuk diajarkan, karena ditakutkan kalau belum siap akan “menyesatkan”.

Aku justru lebih banyak diajarkan dasar-dasar syariah berupa fikih, ushul fiqh, bahasa Arab, tafsir yang semuanya bertemakan tentang dasar-dasar syari’ah. Sedikit sekali aku mendapat pendidikan ruhaniah. Ketika aku duduk di bangku kuliah di IAIN (sekarang UIN), aku diajarkan mata kuliah Tasawuf. Sayangnya, aku mempelajarinya sebatas wacana akademik. Aku tahu tasawuf hanya melalui buku, makalah, diskusi, bukan melalui praktik langsung. “Sangat jauh bara dari api”. Yang aku rasakan malah terbalik: ‘daun spiritualku’ semakin kering. Akhirnya aku merasa terombang-ambing bagai buih dalam lautan ketidakjelasan orientasi hidup. Aku merasa seperti “pecundang spiritual”.

Pernah dalam suatu saat aku diajak oleh abangku Kasim untuk menemui seorang yang abangku yakini memiliki kemampuan spiritual yang dapat membimbingku. Aku turut aja. Apalagi selama ini abang Kasim dikenal sebagai petualang spiritual. Abangku ini pernah belajar ke berbagai guru dan mempelajari ilmu hikmah, sampai-sampai ia pernah menjadi guru ngaji dan dapat mengobati orang yang kesurupan.
Bahkan ia pernah belajar ke guru yang mengklaim bahwa ia dapat menangkap jin dalam botol. Ia bahkan aktif mengikuti wiridan tiap malam jumat di kediaman guru tersebut. Namun abangku dan juga aku akhirnya merasa bahwa pertualangan ini bukan menjadikan kami semakin tenang, tetapi semakin resah. Semakin jauh dari Allah.
Dengan mengikuti pengajian rumah yang diadakan abang-abangku itu, perlahan-lahan aku sadar bahwa selama ini aku memiliki pengetahuan yang tidak aku amalkan sehingga tidak berkah. Astaghfirullah. Aku baru sadar ternyata ada gejolak rindu yang selama ini aku abaikan.
Abangku Kasim juga mulai sadar bahwa selama ini ia belum menemukan guru yang ia harapkan berkah untuk dunia dan akhiratnya. Aku dan Abangku Kasim akhirnya juga mulai mendalami kajian dan wacana tasawuf, tetapi belum ada guru yang membimbing kami. Di samping itu, jarak juga memisahkan kami. Abangku Kasim berada di Jakarta, aku di Melbourne, sementara abangku yang lain tinggal di Pulau Kijang (Riau), sehingga kami tidak bisa mengikuti pengajian di Pulau Kijang.

Hingga suatu saat, abang-abangku yang di Pulau Kijang pernah mendapat satu edisi Cahaya Sufi dari seorang kawan dan setelah membacanya mereka merekomendasikan abang Kasim di Jakarta untuk mengikuti pengajian Kyai Luqman Hakim di perumahan BATAN Serpong dekat dari rumah kami di Jakarta. Namun karena “1001 alasan” kami belum dapat mengikutinya.

Alhamdulillah, aku bersyukur karena aku dan abang-abangku terus bersemangat untuk belajar. Namun sangat disayangkan, kami belajar tetapi tidak dibimbing secara ruhani oleh Mursyid. Hingga suatu saat, seorang ustadz yang juga mendalami tasawuf pernah mengatakan kalau mau belajar tasawuf jangan tanggung-tanggung dan kalau bisa harus berthariqat sehingga dapat dibimbing dengan baik. Kamipun akhirnya beritikad untuk mencari guru tarikat. Namun saat itu kami masih bingung ke mana harus mencari guru dan tarikat apa yang harus kami jalankan.

Juli-Agustus 2007. Aku telah menyelesaikan kuliah ku di Melbourne dan langsung pulang ke kampung (Pulau Kijang) untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Sesampainya di sana, aku langsung terbawa arus pengajian abang-abangku. Aku melihat perubahan besar mulai terjadi. Abangku sering mengajakku untuk mencari guru yang bisa membimbing kami, namun Allah belum mempertemukan.
Hingga satu hari aku dan abang-abangku berjalan pada sore hari ke persawahan jam 4 sore. Keponakan-keponakan (anak-anak abangku) juga berkumpul ikut meramaikan suasana jalan-jalan sore hari itu. Karena aku ingin mengabadikan suasana sore hari itu dalam gambar, aku membawa sebuah kamera DSLR. Menjelang senja, salah satu keponakanku (anaknya bang H Ali) tiba-tiba berteriak: “Om, Pak, ada lafadz Allah…di langit”..serta merta kami semua memandang ke langit di ufuk Barat di mana matahari mulai tenggelam.
Perasaan kami waktu itu bercampur-campur antara perasaan takjub, kaget, bersyukur, dan haru ketika kami akhirnya melihat Lafadz Allah di Langit yang dirangkai dari kumpulan awan-awan dengan background langit memerah kekuning-kuningan.

Subhana Allah…aku bergumam saat itu. Allahu Akbar…pekik abangku H. Ali. Aku tiba-tiba teringat bahwa baru saja tadi malam kami mengkaji tentang hubungan antara Asma’, Sifat, dan Zat Allah. Spontan aku tekan tombol shutter di kameraku, dan Alhamdulillah aku berhasil mengabadikannya dalam gambar. Dalam hatiku berucap, inilah kenapa aku membawa kamera, mungkin Allah ingin memperlihatkan kebesaran-Nya.

Aku mencoba memotret untuk kedua kalinya, namun tidak berhasil karena mulai memudar. Namun tak lama setelah itu, muncul lagi cahaya/sinar terang. Tak lama setelah kami tatap, ternyata cahaya itu adalah lafadz Muhammad. Abangku spontan berkata, “Nur Muhammad”…aku yang sempat terkesima beberapa detik langsung tersadar untuk memotret lafadz itu, walaupun gambar yang kudapat tidak begitu jelas.

Saat itu terasa hening dan sangat tenang. Ada kesejukan yang mengalir di hati kami. “Ada apa gerangan yang terjadi?” celetuk abangku.
Sehari setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke desa seberang desa kami. Kami ingin berkonsultasi ke seorang Kyai untuk sebuah masalah keluarga, dan bukan mencari guru yang dapat membimbing kami untuk masuk ke thariqat. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah kami di sebuah perkampungan yang terasa sejuk dan damai. Kami sampai di sebuah rumah panggung terbuat dari kayu.

Bertemulah kami dengan seseorang dengan perawakan sederhana dan tampak lusuh. Dengan lugunya abangku Haris bertanya, “Pak Kyai ada?” orang itu kemudian menjawab, “di sini tidak ada pak Kyai, yang ada Muhani…” Abangku kemudian menjawab,
“O ya, kami mencari Pak kyai Muhani”. Orang itu kemudian menjawab lagi, “kalau pak Kyai tidak ada, kalau Muhani itu kebetulan saya…”
Kami serentak kaget, karena dalam “imaginasi” kami Kyai adalah seorang dengan sosok berwibawa, bersurban, dan memegang tasbih sebagaimana yang sering ditayangkan dalam TV.

Kyai Muhani yang kami temui lain. Beliau hanya seorang petani yang sederhana, ramah, dan teduh, tidak tampak tanda-tanda ke-Kyaian. Di rumah beliau terpajang beberapa foto. Tapi mata kami terfokus pada salah satu foto. Pak Kyai Muhani mengatakan bahwa foto itu adalah Mbah Djalil Mustaqim, mursyid beliau yang sudah wafat.
Sebelumnya kami belum tahu bahwa kalau beliau adalah seorang salik, apalagi thariqat yang beliau tempuh. Beliau akhirnya bercerita bahwa beliau salah satu salik thariqat Syadziliyyah. Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih dua jam, beliau mengajak kami untuk shalat berjamaah bersama di Mushalla di depan rumahnya yang juga menjadi tempat pengajian kitab al-Hikam. Seusai zikir bersama, mataku tertuju pada sebuah kalender di dinding Mushalla yang bertuliskan “PETA” Tulung Agung, Jawa Timur.

Abangku tak sungkan untuk menanyakan apa itu PETA? Beliau menjelaskan bahwa PETA adalah pondok pesulukan di Tulung Agung tempat ia belajar dan suluk dibimbing Mbah Djalil. Spontan abangku bertanya, “kalau kami ingin ikut berthariqat bagaimana caranya pak Kyai?” Pak Kyai Muhani menjawab bahwa beliau tidak punya hak untuk mem-baiat. Beliau hanya diberikan wewenang untuk mengijazahi dzikir-dzikir yang dibaca menjelang memasuki thariqat.

Akhirnya ketiga abangku (H. Ali, Haris, dan Udin) mendapatkan aurod Syadziliyah dan Asyfa’. Aku saat itu belum memutuskan untuk ikut. Namun saat itu hatiku bergumam, perjalanan kami yang tadinya hanya diniatkan untuk konsultasi keluarga tak terduga berubah menjadi sebuah jalan menuju thariqat Syaziliyah.

Inikah yang diisyaratkan Allah dalam Lafadz Nya yang kami saksikan di langit sehari yang lalu? Belum sempat aku menjawab pertanyaanku, tiba-tiba abangku menyela: “Mungkin Cahaya yang kemarin kita lihat menjadi penanda yang Allah berikan ke kita untuk menuju ke sini…”
Kurang lebih sebulan setelah peristiwa itu, tepatnya dua hari setelah Ramadhan, aku dan abangku Kasim yang di Jakarta datang bersilaturahmi ke rumah pak Kyai Muhani. Aku dan abangku Kasim pun akhirnya dianjurkan untuk berpuasa dan membaca asyfa dan kemudian menerima aurod Syadziliah dari beliau.


from: sufinews.com